Suka Mobil Bensin, Pangsa pasar mobil listrik di Indonesia memang mengalami kenaikan dari tahun 2023 sebesar 1,7% menjadi 5% di tahun lalu. Meski demikian mobil berbahan bakar bensin atau internal combustion engine (ICE) tetap dominan dalam penjualan dan membanjiri jalanan di RI. Halangan terbesar masyarakat masih enggan untuk menggunakan mobil listrik ialah tidak meratanya keberadaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), dimana dominan berada di wilayah pulau Jawa.
Orang RI Masih Suka Mobil Bensin Ketimbang Listrik, Ini Alasannya– Di Indonesia, kendaraan listrik belum umum, jadi keterjangkauan adalah kuncinya. Merek-merek Cina mendominasi, terutama di Jawa, sehingga menjadi ‘standar’. Merek-merek Jepang dan Eropa, yang dianggap mahal menghadapi persaingan ketat karena biaya yang lebih tinggi dan fitur-fitur yang kurang dikenal.
Orang RI Masih Suka Mobil Bensin Ketimbang Listrik, Ini Alasannya
Mobil listrik belakangan ini semakin populer di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pemerintah pun gencar mendorong penggunaan kendaraan listrik demi mengurangi emisi karbon dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, meskipun berbagai insentif telah ditawarkan, masyarakat Indonesia masih lebih memilih mobil berbahan bakar bensin dibandingkan mobil listrik. Lantas, apa saja alasan di balik fenomena ini?
Harga Mobil Listrik yang Masih Mahal
Salah satu alasan utama mengapa masyarakat Indonesia masih enggan beralih ke mobil listrik adalah faktor harga. Saat ini, harga mobil listrik rata-rata masih jauh lebih mahal dibandingkan mobil bensin. Misalnya, mobil listrik seperti Hyundai Ioniq 5 dibanderol mulai dari Rp700 juta hingga Rp800 juta, sementara mobil bensin seperti Toyota Avanza atau Honda Brio dapat dibeli dengan harga mulai dari Rp200 jutaan.
Bagi sebagian besar masyarakat, harga menjadi pertimbangan penting. Banyak yang beranggapan bahwa dengan harga yang sama, mereka bisa mendapatkan mobil bensin dengan fitur lebih lengkap atau model yang lebih besar. Meski ada insentif pajak dan subsidi dari pemerintah, perbedaan harga ini tetap menjadi penghalang signifikan.
Keterbatasan Infrastruktur Pengisian Daya
Ketersediaan stasiun pengisian daya (charging station) yang masih terbatas juga menjadi alasan mengapa mobil listrik belum menjadi pilihan utama. Hingga saat ini, stasiun pengisian daya baru tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Itu pun jumlahnya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum) yang sudah tersebar luas di seluruh Indonesia.
Hal ini membuat pemilik mobil listrik merasa khawatir saat harus bepergian jarak jauh. Mereka takut kehabisan daya di tengah jalan dan kesulitan menemukan tempat pengisian. Keterbatasan infrastruktur ini menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang mengutamakan kenyamanan dan fleksibilitas saat berkendara.
Jarak Tempuh yang Terbatas
Berbeda dengan mobil bensin yang bisa menempuh ratusan kilometer hanya dengan sekali pengisian penuh, mobil listrik memiliki keterbatasan jarak tempuh. Rata-rata mobil listrik di Indonesia hanya mampu menempuh jarak 300 hingga 500 kilometer dalam kondisi baterai penuh.
Bagi masyarakat yang sering melakukan perjalanan antar kota atau luar kota, hal ini menjadi pertimbangan besar. Mereka tidak ingin repot harus sering berhenti untuk mengisi daya, apalagi jika infrastruktur pengisian belum memadai.
Kurangnya Edukasi dan Informasi
Faktor lain yang tak kalah penting adalah kurangnya edukasi dan informasi mengenai mobil listrik. Masih banyak masyarakat yang belum memahami keunggulan dan cara penggunaan mobil listrik. Beberapa orang bahkan masih khawatir akan keselamatan penggunaan baterai, risiko kebakaran, atau biaya perawatan yang dianggap mahal.
Sosialisasi yang lebih masif mengenai manfaat mobil listrik, cara pengisian daya, serta perbandingan biaya perawatan sebenarnya bisa membantu mengurangi keraguan masyarakat. Namun, upaya ini masih perlu ditingkatkan oleh pemerintah maupun pihak produsen.
Kebiasaan dan Budaya Otomotif
Di Indonesia, mobil bukan hanya sekadar alat transportasi, tetapi juga bagian dari gaya hidup dan simbol status sosial. Banyak masyarakat yang lebih memilih mobil berbahan bakar bensin karena sudah terbiasa dan merasa lebih percaya diri.
Selain itu, budaya modifikasi juga masih melekat kuat pada pecinta otomotif di Indonesia. Mobil bensin dianggap lebih mudah dimodifikasi, baik dari segi performa maupun tampilan. Hal ini membuat mobil listrik belum sepenuhnya menarik bagi segmen pasar yang mengutamakan hobi dan kebebasan dalam memodifikasi kendaraan.
Nilai Jual Kembali yang Masih Rendah
Nilai jual kembali atau resale value juga menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat. Mobil listrik saat ini masih memiliki nilai jual kembali yang rendah, karena pasarnya masih sangat terbatas. Calon pembeli mobil bekas masih ragu untuk membeli mobil listrik, terutama karena faktor umur baterai dan biaya penggantiannya yang mahal.
Sebaliknya, mobil bensin memiliki pasar yang lebih luas dan nilai jual yang relatif lebih stabil. Hal ini membuat banyak orang lebih nyaman memilih mobil bensin agar tidak rugi terlalu besar saat ingin menjualnya kembali.
Contoh Kasus dan Data Pendukung
Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik di Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai sekitar 17.000 unit, jauh di bawah penjualan mobil konvensional yang mencapai lebih dari 900.000 unit.
Sementara itu, survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center pada 2023 menunjukkan bahwa 74% responden masih lebih memilih mobil bensin. Dari survei tersebut, alasan utama yang disebutkan adalah harga yang mahal (58%), keterbatasan infrastruktur pengisian daya (25%), dan kekhawatiran akan daya tahan baterai (17%).
Data ini menunjukkan bahwa meskipun minat terhadap mobil listrik perlahan meningkat, adopsinya masih sangat terbatas di Indonesia.
Kesimpulan
Mobil listrik memang menawarkan berbagai keunggulan, seperti emisi yang lebih rendah dan biaya operasional yang lebih hemat dalam jangka panjang. Namun, kenyataannya, masyarakat Indonesia masih lebih memilih mobil bensin karena beberapa faktor utama seperti harga yang lebih terjangkau, infrastruktur pengisian daya yang belum merata, jarak tempuh yang terbatas, serta kebiasaan dan budaya otomotif yang sudah terbentuk sejak lama.