Baru Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tak henti-hentinya memberikan kebijakan baru dalam kepemimpinan kedua kalinya atau yang biasa disebut Trump 2.0.
Baru-baru ini, pemerintahan Presiden Donald Trump mengeluarkan kebijakan yang memperketat proses pengajuan visa bagi individu yang memiliki riwayat mengkritik Amerika Serikat atau Israel di media sosial. Kebijakan ini memungkinkan penolakan atau pencabutan visa berdasarkan aktivitas daring pemohon yang dianggap menunjukkan sikap “bermusuhan” terhadap AS atau sekutunya.
Instruksi Pemeriksaan Media Sosial oleh Diplomat AS
Pada 25 Maret 2025, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menginstruksikan para diplomat untuk memeriksa akun media sosial pemohon visa, khususnya bagi mereka yang mengajukan visa pelajar dan pertukaran (F, M, dan J). Tujuannya adalah mengidentifikasi individu yang mungkin memiliki pandangan kritis terhadap AS atau Israel. Instruksi ini memungkinkan penolakan visa jika ditemukan aktivitas daring yang menunjukkan sikap “bermusuhan terhadap warga AS atau budaya AS (termasuk pemerintah, institusi, atau prinsip-prinsip pendirian)” .
Kasus Penolakan dan Pencabutan Visa
Sejak Januari 2025, lebih dari 300 visa telah dicabut, banyak di antaranya milik mahasiswa yang terlibat dalam protes pro-Palestina. Misalnya, Rumeysa Ozturk, mahasiswa pascasarjana di Tufts University, dideportasi karena menulis opini pro-Palestina . Selain itu, mantan Presiden Kosta Rika, Óscar Arias Sánchez, mengalami pencabutan visanya setelah mengkritik pemerintahan Trump .
Penggunaan AI dalam Pemantauan Aktivitas Daring
Pemerintah AS juga menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk memantau aktivitas media sosial dan mendeteksi dukungan terhadap kelompok yang dianggap teroris, seperti Hamas. Hal ini menyebabkan banyak mahasiswa internasional menerima pemberitahuan pembatalan visa mereka melalui email dan diminta untuk meninggalkan AS .
Dampak pada Kebebasan Berbicara dan Akademik
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kebebasan berbicara dan kebebasan akademik. Banyak yang mengkritik bahwa tindakan ini dapat menciptakan efek mengerikan bagi individu yang ingin mengungkapkan pandangan kritis terhadap kebijakan AS atau Israel, terutama di lingkungan akademik .
Pertanyaan dan Jawaban (Q&A) Terkait Kebijakan Ini
Q: Apa yang menyebabkan penolakan atau pencabutan visa berdasarkan kebijakan baru ini?
A: Aktivitas media sosial yang menunjukkan sikap “bermusuhan” terhadap AS atau Israel, seperti postingan kritis, partisipasi dalam protes daring, atau dukungan terhadap kelompok yang dianggap teroris, dapat menjadi alasan penolakan atau pencabutan visa .
Q: Siapa saja yang telah terkena dampak dari kebijakan ini?
A: Lebih dari 300 individu, termasuk mahasiswa internasional dan tokoh publik seperti mantan Presiden Kosta Rika, Óscar Arias Sánchez, telah mengalami pencabutan visa sejak Januari 2025 .
Q: Bagaimana pemerintah AS memantau aktivitas media sosial pemohon visa?
A: Pemerintah AS menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk memantau dan menganalisis aktivitas media sosial guna mendeteksi dukungan terhadap kelompok yang dianggap teroris atau pandangan kritis terhadap AS dan Israel .
Q: Apa implikasi kebijakan ini terhadap kebebasan berbicara?
A: Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa individu mungkin merasa terintimidasi untuk menyuarakan pendapat kritis mereka. Salah satunya di platform daring, karena takut akan konsekuensi seperti penolakan atau pencabutan visa .
Q: Apa yang dapat dilakukan individu untuk menghindari penolakan visa terkait aktivitas media sosial?
A: Disarankan agar individu berhati-hati dalam menyampaikan pandangan mereka di media sosial. Dalam hal terutama yang berkaitan dengan kritik terhadap AS atau Israel. Hal ini dapat memastikan bahwa aktivitas daring mereka tidak melanggar kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah AS.
Kesimpulan
Kebijakan baru pemerintahan Trump yang memperketat pemeriksaan media sosial dalam proses pengajuan visa menimbulkan dampak signifikan. Hal ini terutama bagi individu yang mengkritik AS atau Israel secara daring. Langkah ini memicu kekhawatiran tentang kebebasan berbicara dan transparansi dalam kebijakan imigrasi. Dengan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk memantau aktivitas digital. Pemohon visa harus lebih berhati-hati dalam menyuarakan opini mereka di media sosial agar tidak berisiko mengalami penolakan atau pencabutan visa. Kebijakan ini mencerminkan ketegangan geopolitik yang semakin meningkat dan dampaknya terhadap hubungan internasional serta hak-hak individu.